Monday, November 29, 2010

FILSAFAT RENE DESCARTES

TEORI TENTANG PENGETAHUAN

Rene Descartes adalah seorang filsuf yang menganut paham rasionalis. Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.

Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.

Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1 diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes memutuskan “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.

Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
c. Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.

Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Descartes (dalam Brown, 2005, hal.30) mengatakan, “rantai panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya.

Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak (Descartes, 1995, hal 34).

Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.

Hal yang ingin kami kritisi disini adalah perkataan Descartes yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang begitu terpencil atau begitu tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Apakah memang nalar manusia demikian tidak terbatasnya sehingga semua pengetahuan bisa dijangkau? Jika ditinjau dari iman Kristen, hal ini tentu tidak benar karena manusia adalah mahkluk yang terbatas dan hanya Tuhanlah yang tidak terbatas.

Tidak semua hal di dunia ini bisa dimengerti oleh pemikiran kita. Kita hanyalah manusia yang terbatas. Hanya Allah yang tidak terbatas. Jika kita mau mencari kebenaran yang absolut, sampai kapan pun kita tidak akan menemukannya karena kebenaran yang absolut hanya dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, janganlah kita bersandar hanya pada pengertian kita sendiri melainkan melandaskannya pada Tuhan seperti yang tertulis dalam Amsal 3:5.

Elizabeth Indrawati (30720080023)
Natalia (40820080007)



KONSEP TENTANG NATUR MANUSIA

Rene Descartes merupakan seorang filsuf rasionalis. Oleh sebab itu, semua hal yang dapat dipikirkan dan dianggap benar oleh filsuf ini berada dalam ranah rasional. Ketika sesuatu berada diluar rasional dan tidak dapat diinderai, maka hal itu tidaklah benar-benar ada. Indera dan pikiran menjadi indikator untuk mengukur kebenaran suatu hal.
Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
• Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.
• Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.

Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul (Panggabean, http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/renaisans.html).
Pernyataan Rene Descartes bahwa seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia harus diragukan termasuk pengetahuan yang dianggap paling pasti dan sederhana. Pengetahuan-pengetahuan yang harus diragukan dalam hal ini adalah berupa: segala sesuatu yang kita dapatkan di dalam kesadaran kita sendiri, karena semuanya mungkin adalah hasil khayalan atau tipuan; dan segala sesuatu yang hingga kini kita anggap sebagai benar dan pasti, misalnya pengetahuan yang telah didapatkan dari pendidikan atau pengajaran, pengetahuan yang didapatkan melalui penginderaan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan juga pengetahuan tentang ilmu pasti yang paling sederhana. Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada (M. Ied Al Munir , http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54).

Dari pernyataan Descartes di atas, sangat jelas bahwa Descartes selalu berupaya mencari kebenaran yang rasionalis dan sistematis, tidak mau dengan hanya sekedar yakin. Lalu dia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Segala sesuatu diawali dengan rasio, karena iman ragu-ragu. Gejala-gejala atau kejadian apapun yang nampak semua diragukannya, karena ia tidak memercayai semua yang dapat ditangkap oleh inderawi. Apapun yang dipikirkan, itulah yang dia anggap benar.

Descartes meragukan segala sesuatu, bahkan eksistensinya sekalipun. Dia meragukan apakah yang sedang dilakukan adalah benar-benar sedang dilakukan atau hanya halusinasinya saja. Dia meragukan apakah yang dilihat itu benar seperti apa yang dilihat atau hanya interpretasi semu saja yang pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada intinya, keruguan dan keraguan sajalah yang selalu timbul. Hingga akhirnya untuk menepis keragu-raguan akan keberadaannya sendiri ia mengemukakan teorinya “I think therefore I am”. Ia berpikir ini merupakan suatu jawaban baginya. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa yakin bahwa yang ia pikirkan itu benar? Mengapa ia tidak meragukan teori “I think therefore I am” yang ia kemukakan sebagai jawaban dari keragu-raguannya. Jika memang semua harus diragukan, maka ia juga perlu meragukan kebenaran dari teorinya tersebut. Ketika Descartes mengutarakan bahwa senses dan idea menjadi sumber informasi yang dapat diterima kebenarannya, maka kita perlu tahu sumber dari senses dan idea itu sendiri, sehingga keduanya dapat begitu hebat untuk menjadi 2 validator yang dianggap absolut.

Kepintaran filsuf ini menjadi sia-sia ketika ia membuat manusia menjadi pusat dan sumber kebenaran. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dapat menjadi sumber kebenaran, sebab kebenaran hanya bersumber dari yang kudus, yang benar, yang tak bercacat dan yang sempurna. Jika Descartes mencoba menjadikan manusia dengan senses dan idea yang dimilikinya menjadi sumber kebenaran, maka itu telah menyalahi kebenaran yang sejati. Sebab manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri.
Manusia adalah ciptaan yang tidak dapat terlepas dari penciptaNya. Ada subjek yang lebih besar yang menjadi Pencipta, yang merupakan sumber kebenaran.
Descartes terjerumus dalam rasionya. Pemberhalaannya akan rasio telah menutup mata imannya. Ia menolak eksistensi Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi dan sumber kehidupan. Hikmat dan kebijaksanaan hanya datang dari Allah. Ketika manusia menolak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan itu. Descartes yang menolak keberadaan Allah sebagai oknum yang benar-benar ada dan berkuasa, tentu saja tidak akan melihat kebenaran yang sejati. Ketika manusia mencoba memikirkan bahwa Allah bukanlah oknum yang penting dalam kehidupannya, saat itu pulalah manusia kehilangan hikmat.

Kekristenan dengan jelas menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan. Segala sesuatu bersumber dari Dia. Segala pengetahuan adalah dari Dia. Tidak ada suatu kebenaran apapun yang dapat diketahui oleh manusia tanpa keinginan dari Allah untuk membukakannya. Allah memberikan hikmat kepada semua manusia yang meminta hikmat kepada-Nya. Akan tetapi, seringkali manusia mencoba menjadi allah, menjadikan dirinya sebagai yang paling penting dan paling benar. Tidak merendahkan diri di hadapan Allah dan meminta hikmat, justru dengan angkuh meniadakan Allah dalam kehidupannya. Allah yang telah menciptakan manusia, memberikan manusia kemampuan untuk menentukan pilihannya, taat kepada kebenaran Allah atau justru meniadakannya. Allah ingin setiap manusia, termasuk Descartes melihat dan menerima kebenaran yang sejati, tetapi dengan kerelaan hati, tidak dengan paksaan. Oleh sebab itu, Descartes bisa saja mengerluarkan teori-teori yang meniadakan Allah dan menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan dan sumber kebenaran. Akan tetapi, kebenaran yang sejati tidak akan dapat dirubahnya.

Seperti yang tertulis dalam Kolose 1:16, “ Karena di dalam Dialah telah diciptakan yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Ayat di atas sangat jelas mengajarkan kita untuk janganlah kita menyingkirkan Tuhan untuk membuat filsafat kita diterima oleh banyak orang dan secara sadar kita lebih mementingkan eksistensi diri kita sendiri dan meragukan kemahakuasaan Allah. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.

Dewi Melati Lumbantoruan (40420080009)
Venska.M (30720080089)


TUJUAN KEHIDUPAN

Cartesian Rasionalism menurut Descartes merupakan aplikasi yang diterapkan dalam kehidupan, termasuk dalam etika. Descartes mengatakan bahwa tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia dan tujuan ini hanya dapat dicapai oleh rasio atau akal manusia. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002). Sehingga akhir hidup manusia dikatakan benar jika sepanjang hidupnya manusia berbuat baik. Jika seseorang berbuat baik tentu saja manusia memiliki standar tersendiri tentang sesuatu yang baik dimana sebelumnya hal ini sudah dirasionalisasikan terlebih dahulu.

Ditinjau dari hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal tentang akhir hidup manusia. Pertama, akhir hidup manusia ditentukan oleh apa yang manusia lakukan, melalui akal manusia. Dari pernyataan tersebut terlihat terdapat kontroversi atau ketidak konsistenan Cartesian, yaitu : saat Decartes mengatakan akhir hidup manusia akan dapat mencapai ketenangan dan kebahagiaan dengan syarat manusia harus melakukan hal-hal yang baik, disitulah kontroversinya. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa akhir hidup manusia dapat seperti itu, padahal ia belum pernah melihat secara langsung akhir hidup itu sendiri.
Analisis kami akan hal ini, pemikiran Decartes tidak lepas dari yang namanya iman. Sebagai manusia yang sudah diselamatkan, Decartes percaya bahwa akhir hidup manusia adalah kekal (ketenangan dan kebahagiaan). Tentunya ia sudah menggunakan prinsip from faith to faith yang sangat bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang pada dasarnya membutuhkan bukti untuk percaya.

Hal yang kedua adalah, mengenai standar universal tentang hal yang baik yang harus dilakukan manusia. Setiap manusia yang memiliki kehendak bebas memiliki pandangan yang berbeda akan batasan-batasan mengenai perbuatan baik itu sendiri. Setiap manusia memiliki standar kebenaran yang berbeda-beda dalam dirinya, jadi dunia pasti akan berantakan jika semua orang dengan seenaknya melakukan segala sesuatu yang dianggapnya benar tanpa memikirkan standar kebenaran dari orang lain (Ingat : Decartes adalah filsuf yang tidak begitu concern terhadap masalah etika, tetapi lebih kepada epstemolgis dan metafisik).

Kemudian, sejauh mana standar kebaikan yang dapat dicapai manusia sehingga didapatkan sebuah alasan yang akhirnya menentukan bahwa akhir hidup manusia akan mencapai kebahagiaan. Tetapi terdapat kontradiksi, dimana mereka mengatakan bahwa ketenangan dan kebahagiaan dapat dicapai ketika segala sesuatu dapat di mengerti oleh rasio manusia. Sedangkan kita ketahui bahwa rasio orang berbeda, sehingga Berkaitan dengan rasionalisasi, darimana kemampuan rasional yang dipakai oleh Descartes untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar.

Secara tidak langsung, Decartes menyadari bahwa adanya Oknum yang melampaui rasio manusia sehingga Oknum inilah yang sesungguhnya memberikan suatu standar kebaikan di dalam diri manusia yang memampukan manusia untuk memahami standar kebaikan yang harus dicapai manusia sehingga kebahagiaan di akhir hidup terealisasi. Tetapi, Decartes menyatakan bahwa untuk memperoleh kepastian maka rasio akan terus meningkat sampai akhirnya mencapai level tertinggi, padahal kita ketahui bahwa rasio manusia terbatas, sekuat apapun berusaha untuk mencapai standar yang didambakan, dalam kondisi ketidakmampuan rasio inilah keberadaan Oknum perlu untuk menyempurnakan rasio sehingga mampu mencapai titik standar kebaikan yang nantinya menuju kebahagiaan.

Oleh karena itu, perlu ada satu standar kebenaran yang mutlak yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu Firman Allah. Semua pengetahuan yang dianggap benar oleh manusia itu terkadang bersifat relatif. Misalnya : semua pengetahuan akan tumbang dan terus digantikan oleh pengetahuan yang baru. (Hukum Newton tentang mekanika dan gravitasi yang sudah dianggap mutlak oleh semua orang di dunia, ternyata masih dapat dikatakan relatif jika diperbandingkan dengan Hukum Relativitas Einstein). Oleh karena itu, pengetahuan yang absolut hanya datang dari Kebenaran yang Absolut itu sendiri, yaitu Allah. Mengapa Allah dapat dikatakan sebagai kebenaran yang absolut? Jawabannya adalah Allah sendiri menyatakan diri-Nya sebagai jalan kebenaran dan hidup (Yoh 14:6).

Di sisi lain, jika direnungkan lebih dalam, maka terlihat juga fenomena demikian, sebenarnya sudah ada kepastian selain kepastian “cogito, ergos um” itu (I think therefore I am), yaitu kebenaran mutlak yang tidak manusia buat sendiri, tetapi yang manusia rasakan di dalam hatinya (bukan yang ditinjau dari apa yang dianggap benar lagi, tetapi sudah melibatkan Tuhan).

Perlu disadari bahwa pemahaman manusia akan Allah bukan perihal bukti membuktikan, tetapi adalah di luar hal tersebut. Manusia terkadang menyadari eksistensi Allah bukan karena rasionya, tetapi dari kesadaran dan pengalaman yang terkadang sulit untuk dirasiokan, yaitu iman.
Oknum kebenaran ini dinyatakan dalam pribadi manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran yang benar-benar benar. Kebenaran mutlak diperlukan untuk menjadi pembeda antara sesuatu yang dikatakan salah dan benar sehingga kehidupan manusia dapat berjalan dalam keteraturan.

Namun, dalam prinsip kekristenan kebahagian dan ketenangan dalam hidup yang kekal, bukan ditentukan oleh usaha manusia tetapi oleh anugerah. Rasul Paulus menegaskan dalam Roma 3 pasal 1 bahwa perbuatan baik manusia tidak mungkin bisa dipakai untuk mendapatkan keselamatan (dalam hal ini yang dimaksud oleh Decartes, adalah kebahagiaan dan kekekalan), sebab sejak manusia jatuh dalam dosa hidupnya ada di bawah kuasa dosa. Perhatikan Roma 3:9- 18 dan 23, tidak seorangpun manusia itu punya kebaikan, semua ada di bawah kuasa dosa. Kalau toh manusia masih berbakti, masih melakukan kebaikan semua adalah kebaikan yang sudah dicemari oleh dosa. Karena dosa-dosanyalah manusia menjadi seteru Allah dan kehilangan kemuliaan Allah ( 23).

Jika ditinjau dari hal ini, maka kemungkinan hal inilah yang membuat manusia terkadang melakukan segala sesuatu untuk mengetahui segala kebenaran yang ada di dunia ini dengan berbagai cara. Manusia terkadang merasa harus mengetahui segala sesuatunya dan ingin melebihi Allah, manusia juga merasa dirinya lebih dari Allah dengan menggunakan rasionya.


Elizabeth Indrawati (30720080023)
Elizabeth Lolyta.H (40420080010)
Rentika (40420080023)
Ruth Geniek H.S (40420080025)
Suryani S.L (40420080026)



DISKUSI TENTANG TUHAN

Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah 2 pendapat dari Descartes mengenai eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi dalam dua kategori, yaitu cosmological dan ontological. Berikut isi dari keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers karangan Collinson & Plant : “The first argument starts from his recognition of himself as a being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain the idea of God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come only from the perfect being, therefore God must exist as it source”. Pernyataan pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya) bahwa ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang sempurna. Ide tentang “yang sempurna” itu, ia anggap hanya dapat berasal dari “yang empunya sempurna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah pasti/harus ada sebagai sumber ide itu, pendapat ini termasuk dalam pendapat cosmological.
Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal dari yang lebih sempurna dari pada dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh “yang sempurna” itu di dalam dirinya oleh yang Maha Sempurna, yakni Allah. Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar. Alasan mengapa Descartes berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah karena dia mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui dan merasa bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri “yang sempurna” yang hanya ada pada Allah, yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.

“The second of Descartes’ arguments for the existence of God points out that the idea of a most perfect being is of a being containing every perfection and thus being entirely real. The idea of the most perfect being therefore contain the idea existence” (Collinson & Plant, 2006). Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada eksistensi dan esensi dari “perfect being” itu sendiri. Ia beranggapan bahwa ide dari yang paling sempurna adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya Descartes berpendapat bahwa oleh karena Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa seseorang ke dalam kesalahan, dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan menjadi pengetahuan. Di dalam bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat bahwa apa yang ia percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang benar yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect being yang tidak mungkin menipu.

“Allah tidak akan membiarkan kita berpikir bahwa pikiran kita yang jelas dan nyata adalah benar, seandainya semua itu tidak benar. Maka kita dapat benar-benar yakin bahwa segala deduksi logis kita mengenai realita adalah benar” (Brown, 2005, pg 67). Dengan demikian kebenaran dari Allah adalah jaminan untuk seluruh rangkaian ide dan pengetahuan akan segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Jadi, tidak ada sesuatu yang terlalu tersembunyi sehingga tidak dapat ditemukan dengan pikiran manusia sejauh pengetahuan manusia mampu untuk mencapainya (sesuai yang Tuhan nyatakan), sehingga tidak ada kata menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa membuktikannya.

Kami melihat konsep pemikiran Descartes sebenarnya baik, karena memusatkan fokus akhirnya kepada Tuhan yang dia percayai. Dengan meragu-ragukan segala sesuatu (yang mungkin sebenarnya ia anggap benar) misalnya, teori panas ia ragu-ragukan untuk membuktikan bahwa teori ini ada/eksis, walaupun sudah dibuktikan oleh Francis Bacon. Dari situ, dia ingin mengatakan bahwa ia percaya akan pengetahuan yang diberikan Tuhan, merupakan sesuatu yang benar adanya.

Kritik kami akan metode yang meragu-ragukan segala sesuatu ini adalah, meskipun segala sesuatu dapat dibuktikan oleh pemikiran/ pengetahuan yang benar yang berasal dari Tuhan, namun akhirnya metode ini dapat disalahgunakan oleh orang lain untuk meragu-ragukan keberadaan Tuhan yang jelas-jelas telah dipercayai. Sayangnya, apabila teori ini digunakan tanpa memiliki kepercayaan pada Tuhan dari awal, maka akan menimbulkan penyimpangan yang sangat besar. Hoekema dalam bukunya Manusia : Ciptaan Menurut Gambar Allah mengatakan manusia bukan sekedar sebuah ciptaan; ia juga adalah satu pribadi. Ini berarti memiliki kebebasan setidaknya dalam arti ia mampu membuat pilihan-pilihannya sendiri. Hal ini berarti manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang ingin ia pikirkan. Jika tanpa melibatkan Roh Kudus kemungkinan besarnya adalah timbul suatu kesesatan.
Awalnya Descartes menggunakan metode keraguan-raguan akan sesuatu karena dia memegang prinsip : tidak akan pernah mau menerima sesuatu itu benar jika dia tidak tahu dengan jelas hal itu memang benar (Brown, 2005, pg 65). Hal ini berarti awalnya dia ingin membuktikan keberadaan Tuhan karena pikiran rasionalitasnya, tetapi di lain pihak dia telah memiliki dasar yang benar, yaitu bahwa ia telah percaya kepada Tuhan. Meragu-ragukan Tuhan, merupakan hal yang membingungkan karena tidak jelas apakah dia ingin membuktikan imannya ataukah untuk membuktikan pikiran rasionalitasnya. Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, kami melihat bahwa dengan ketertarikannya akan metode rasionalisme yang menurut dia akan dapat membuka semua realitas yang ada, maka keyakinannya akan Tuhan pun ikut dimasukkan sebagai hal yang akan dibuktikan kebenarannya.

Metode yang ia gunakan juga terkesan menimbulkan pengertian bahwa manusia “mengerti dahulu baru mempercayai”, tetapi sebagai seorang Kristen, semua pengetahuan akan Allah seharusnya berangkat dari iman menuju Iman (From Faith to Faith). Pdt.Stephen Tong dalam artikel kompilasi khotbahnya di GRII Pusat yang Ke-183,186,187 dan 188, mengatakan bahwa Alkitab tidak setuju kalau sudah mempunyai pengetahuan rasio baru beriman”. Jadi, jika kita percaya maka kita akan tahu dan dengan demikian berarti pengetahuan berdasarkan percaya, bukan percaya berdasarkan pengetahuan. Sehingga keterkaitan antara keduanya (pengetahuan dan iman) begitu erat.
Yesus juga berkata, ”kalau kau beriman, kau akan melihat kemuliaan Allah. Jadi artinya adalah bukan karena melihat kemuliaan baru percaya, tetapi karena percaya, engkau akan melihat kemuliaan” (Tong, 2001).
Kami juga melihat meskipun dia meragukan segala sesuatu tidak membuat dia terjebak sendiri dalam perangkapnya, yakni meragukan Tuhan dan kemudian akan menjadi tidak percaya. Namun yang terjadi, Descartes justru tetap mempercayai bahwa Tuhan ada karena dasarnya adalah dia memang percaya akan adanya Tuhan. Kami menilai bahwa pemikiran Descartes merupakan sesuatu yang kreatif. Mengapa demikian, karena dia dapat mengolah pemikiran dia sendiri untuk lebih meyakinkan dia bahwa Tuhan benar-benar ada.

Ironisnya, menurut kami justru hal ini merupakan batu sandungan bagi orang lain, karena tidak semua orang yang menggunakan teorinya memiliki pandangan yang sama tentang latar belakang serta tujuan dari pemikiran yang diterapkan Descartes. Akibatnya metode Descartes salah ditafsirkan oleh filsuf– filsuf selanjutnya. Descartes yang membuktikan segala sesuatu dengan cara meragu-ragukannya, kemudian dijadikan suatu cara yang digunakan oleh filsuf lain untuk mengemukakan teori tanpa mengawalinya dengan iman akan keberadaan Tuhan seperti yang telah dilakukan oleh Descartes. Walaupun Descartes tidak menyadari hal itu, tetapi dampak dari filsafatnya sangat jauh menyimpang sampai saat ini.


Elizabeth Lolyta.H (40420080010)
Monica Indriana (40420080020)
Suryani S.L (40420080026)



ETIKA

Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.

Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes' Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio. Kritik teologis yang bisa diberikan untuk menanggapi hal ini adalah bahwa akhir hidup manusia bukan semata-mata ditentukan oleh rasionya karena apapun yang ada di dalam diri manusia sesungguhnya sudah tercemar oleh dosa dan sebagai orang percaya kita percaya bahwa akhir hidup manusia adalah waktu penganugrahan hidup kekal dimana hal ini didapat hanya karena anugrah Allah yang menyelamatkan manusia, suatu Oknum yang melampaui manusia dan seutuhnya sempurna, tidak berdosa.

Kedua, mengenai kebenaran yang universal ini masih dalam standar manusia yang berbeda-beda. Bagaimana Descartes dapat menentukan seseorang itu berbuat baik apabila mereka mempunyai batasan yang berbeda-beda mengenai “perbuatan baik” itu sendiri. apa jadinya kalau semua orang mempunyai standar tersendiri dalam mendefinisikan kata “baik”. Tentunya, setiap orang akan melakukan apa yang menurutnya baik, walaupun bagi orang lain itu tidak baik, sehingga standar dari kebaikan itu sendiri menjadi relatif bagi setiap orang. Ini akan sangat berbahaya. Karena setiap orang punya standar yang berbeda dalam berbuat baik, sehingga akan merusak keseluruhan sistem kehidupan yang ada di dalam masyakat.
Tapi diatas semuanya itu, Descartes sudah secara tersirat menyadari bahwa memang ada suatu kepastian selain kepastian “cogito, ergos um” itu (I think therefore I am), yaitu kebenaran mutlak yang bukan dibuat oleh manusia, tetapi dapat dirasakan oleh manusia di dalam hatinya yang tentunya bukan lagi ditinjau dari apa yang dianggap benar oleh dirinya sendiri tetapi sudah melibatkan seorang Oknum yang berasal dari luar dirinya, dimana oleh Oknum inilah kebenaran ini dinyatakan dalam pribadi manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran yang benar-benar benar. Kesadaran akan adanya Oknum, sesungguhnya bukan hal pembuktian yang dapat dilakukan oleh rasio manusia karena untuk menerima sesuatu sebagai suatu kebenaran mutlak dalam diri seseorang perlu ada kesadaran serta pengalaman yang terkadang tidak dapat didefinisikan secara logis (iman) sampai akhirnya kita bisa mengakui secara sadar mengenai eksistensi dari sebuah kebenaran yang mutlak dan kebenaran ini yang menjadi pedoman bagi hidup manusia dalam bertindak, berkata-kata dan berpikir.

Kebenaran mutlak diperlukan untuk menjadi pembeda antara sesuatu yang dikatakan salah dan benar sehingga kehidupan manusia dapat berjalan dalam keteraturan. Ini sama dengan apa yang Tuhan Yesus katakan, bahwa hukum taurat itu bukan lagi berbentuk 2 loh batu, tetapi sudah diukir di dalam hati manusia, sehingga dia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Masalahnya ada pada manusia itu, apakah dia mau menuruti apa yang dikatakan oleh hati nuraninya?
Ketiga, mengenai kepatuhan akan adat istiadat dan hukum yang berlaku, dimana hal itu ditiru dari perilaku orang-orang yang bijaksana di lingkungan Descartes. Dia juga rela untuk melepaskan pendapatnya untuk mengujinya kembali namun tetap keyakinannya bahwa jalan terbaik adalah mengikuti pendapat orang-orang yang paling bijaksana (Descartes, 1983, p. 24). Jika Descartes begitu percaya pada orang-orang bijaksana sampai dia rela menguji kembali keyakinannya, tentu orang bijaksana memiliki pengaruh yang begitu besar. Namun, jika ditinjau lebih dalam, standar yang digunakan oleh Descartes untuk menentukan seseorang bijaksana masih sangat relatif dan cenderung subyektif. Kritik teologis dalam menanggapi pernyataan diatas adalah bahwa standar moral yang ditetapkan bukan suatu kebenaran karena sumber dari kebijaksaan yang utama bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah sumber segala hikmat.

Keempat, Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab. Dalam hal ini Descartes kembali kepada pernyataan awal, dia mendasarkan standar bijaksananya pada manusia, dimana dalam hal ini manusia sangat mungkin untuk membuat suatu kesalahan sehingga mutlak kehilangan esensi dari bijaksana itu sendiri. Kritik teologisnya adalah pada dasarnya manusia itu memiliki natur dosa, jadi tidak mungkin manusia dapat dijadikan patokan bijaksana yang nantinya akan mengarahkan oranglain untuk menjadi bijaksana juga.

Kelima, Descartes mengatakan untuk selalu berusaha mengalahkan diri sendiri, dan bukannya nasib; mengubah keinginan-keinginan sendiri, dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di bawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita (Descartes, 1983, p. 27). Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia yang berasio tidak punya kendali apapun terhadap nasib, sehingga terkesan menjadi pasrah akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Selain itu, kerancuan dalam teori ini adalah standar ketidakmampuan yang tidak jelas sehingga seseorang dipastikan tidak mampu melakukan sesuatu. Kritik teologis adalah memang benar manusia tidak bisa mengubah nasib, tetapi sebagai orang percaya selalu ada pengharapan akan segala sesuatu, sekalipun bagi manusia hal itu mustahil tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin asal pengharapan kita selalu ada pada-Nya.

Rentika (40420080023)
Ruth Geniek.H.S (40420080025)


DAFTAR PUSTAKA

Brown, C. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. Surabaya: Momentum.
Collinson, D, dan Kathryn Plant. (2006). Fifty Major Philosophers. Great Britain: MPG Books Ltd, Bodmin.

Descartes' Ethics. (2008, December 1). Retrieved November 27, 2010, from Stanford Encyclopedia of Philosophy: http://plato.stanford.edu/entries/descartes-ethics/#PlaEthDes

Descartes, R. (1983). La Pensee Karya Prancis Pilihan : Risalah Tentang Metode:Rene Descartes. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Descartes, Rene (1596-1650). (2003, Agustus 29). Retrieved November 27, 2010, from Routledge Encyclopedia of Philosophy: http://www.rep.routledge.com/article/DA026

Hoekema, A. (2008). Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Surabaya: Momentum.

Panggabean, H.P. http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/renaisans.html, retrieved on 22 November 2010.

The Philosophy of René Descartes - 2. (2002). Retrieved November 27, 2010, from Classic Philosophers : The Great Thinkers of Western Philosophy: http://www.radicalacademy.com/phildescartes2.html

Tong, S. (2001, Oktober). Kompilasi Khotbah GRII (Majalah Momentum No.490. Dipetik November 27, 2010, dari From Faith to Faith: http://www.thisisreformed.org/artikel/faithtofaith.html